BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Pembangunan di Indonesia begitu pesat,
sebuah pembangunan yang ternyata hanya mengusir orang-orang miskin, bukan
mengusir kemiskinan. Kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang masih
rendah merupakan salah satu penyebab tingkat kemiskinan di negeri ini tak jua
turun, perekonomian kita tertinggal. Bahkan di negeri sendiri pun, kita kalah
dengan negara lain yang istilahnya hanya “menumpang.”
Pembangunan Indonesia baik SDM, sektor
pertanian maupun sektor lainnya harus
terus ditingkatkan. Saat ini (Januari-April,2012), nilai ekspor pertanian
Indonesia sebesar US$1630,5 menurun 2,97% dari tahun sebelumnya (BPS,2012).
Padahal jika diamati, sektor pertanian kita dengan sumber daya alam (SDA) yang
beragam dapat memberikan nilai ekspor Indonesia yang cukup besar.
Kondisi yang terjadi saat ini memang
berkebalikan dengan apa yang diharapkan, Indonesia bukan meng-ekspor, bahkan
untuk makanan pokok pun harus meng-impor dari negara lain. Selain tingkat
pendidikan, alih fungsi lahan, hal tersebut merupakan salah satu alasan mengapa
petani di negeri ini berada di bawah garis kemiskinan.
Usaha pertanian di Indonesia sampai saat
ini masih banyak didominasi oleh usaha dengan: (a) skala kecil, (b) modal yang
terbatas, (c) penggunaan teknologi yang masih sederhana, (d) sangat dipengaruhi
oleh musim, (e) wilayah pasarnya lokal, (f) umumnya berusaha dengan tenaga
kerja keluarga sehingga menyebabkan terjadinya involusi pertanian (pengangguran
tersembunyi), (g) akses terhadap kredit, teknologi dan pasar sangat rendah, (h)
pasar komoditi pertanian yang sifatnya mono/oligopsoni yang dikuasai oleh
pedagang-pedagang besar sehingga terjadi eksploitasi harga yang merugikan
petani.
Kewajiban pembangunan Indonesia adalah
kewajiban kita, seluruh warga Indonesia. Pembangunan dari kita, oleh kita, dan
untuk kita. Pembangunan yang terbuka, berkeadilan, dan didukung oleh semua
pihak, atau yang lebih dikenal dengan isyilah “Pembangunan Inklusif”. Menurut
International Disability and Development Consortium (IDDC) yang ditampilkan di
website www. makedevelopment- inclusive.org, pembangunan inklusif merupakan
sebuah proses untuk memastikan bahwa semua kelompok yang terpinggirkan bisa
terlibat dalam proses pembangunan. Konsep tersebut mengupayakan pemberian hak
bagi kelompok / kaum yang terpinggirkan di dalam proses pembangunan.
Melihat kondisi petani Indonesia yang
masih terbelakang, sistem pembangunan yang demikian perlu diterapkan. Sistem
pembangunan yang merangkul semua pihak. Dalam
paper ini, penulis akan memaparkan tentang peranan “Sistem Agribisnis Inklusif”
dalam pembangunan Indonesia. Apakah sistem tersebut perlu dicanangkan di negara
kita?
I.2. Rumusan Masalah
Mengapa SDA Indonesia perlu diperhatikan?
Dengan kondisi petani yang berada dalam
skala kecil, kualitas SDM yang masih di bawah, apakah sistem agribisnis
inklusif perlu diterapkan di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
Indonesia
menduduki peringkat keempat dari sisi jumlah penduduk, tetapi ternyata
Indonesia merupakan negara berkembang bahkan dikatakan negara miskin. Wilayah
Indonesia sama luasnya dengan benua Eropa dan sama luasnya dengan daerah
kontinental Amerika Serikat, tetapi Indonesia ternyata masih terbelakang.
Indonesia dianugerahi kekayaan alam yang melimpah, tetapi ternyata hal ini
belum mengangkat taraf kesejahteraan masyarakatnya. Tanpa kualitas SDM, ketiga
hal tersebut belum dapat menjadi acuan majunya pembangunan Indonesia.
Kualitas SDM merupakan salah satu faktor
penting dalam menggalangkan pembangunan negeri ini. Pembangunan Indonesia
tertinggal dari negara lain, bahkan anak negeri bagai budak di tanah sendiri
pun merupakan salah satu akibat rendahnya SDM kita. Menurut United Nations
Development Program (UNDP), IPM (Indeks Pembangunan Manusia) Indonesia tahun
2011 berada diurutan 124 dari 187 negara yang disurvei, dengan skor 0,617.
Peringkat ini turun dari peringkat 108 pada tahun 2010.
Berbicara mengenai SDA yang melimpah dan
beraneka, Indonesia dikenal sebagai negara agraris. Begitulah kalimat yang
kerap kali kita dengar dan ucapkan. Namun yang masih saja penulis pertanyakan,
benarkah Indonesia masih mempunyai julukan itu, sedangkan untuk makanan pokok
pun, Indonesia masih meng-impor.
Berdasarkan data BPS, selama semester I
2011 (Januari-Juni), Indonesia telah mengimpor bahan pangan, baik mentah maupun
olahan, senilai 5,36 milliar dollar AS atau sekitar 45 triliun rupiah dengan
volume impor mencapai 11,33 juta ton. BPS mencatat, Indonesia mengimpor
sedikitnya 28 komoditi pangan mulai dari beras, jagung, kedelai, gandum,terigu,
gula pasir, gula tebu, daging sapi, daging ayam, mentega, minyak goreng, susu,
bawang merah, bawang putih, telur,kelapa, kelapa sawit, lada, teh,kopi,
cengkeh, kakao, cabai segar dingin, cabai kering tumbuk, cabai awet, tembakau
dan bahkan singkong alias ubi kayu juga diimpor.
Impor
yang terus digalangkan pemerintah sesungguhnya akan membuat petani kita lebih
tidak produktif, kesejahtentraan mereka semakin tak terkontrol. Harga komoditi
bahan impor hampir selalu lebih rendah dari harga petani kita, tentu saja
banyak konsumen yang menimbang-nimbang harga, dan pada kenyataannya, lebih
banyak konsumen yang memilih harga rendah. Dari persoalan ini terlihat bahwa
adanya ketidakadilan bagi petani kita yang cenderung miskin dan terbelakang.
Padahal, partisipasi masyarakat miskin pedesaan
dalam perencanaan, implementasi kebijakan dan program turut menentukan
keberhasilan pembangunan (Rusastra 2008).
Persoalan-persoalan dalam sektor
pertanian, baik persoalan mengenai alih fungsi lahan yang terus terjadi, yang
mengakibatkan petani kita bergerak dalam usaha kecil, modal yang terbatas,
pengetahuan tentang iptek yang masih minim, sampai soal persaingan harga yang
membuat petani kalah saing; sudah harus dientaskan, sudah tidak bisa lagi
dibiarkan berlarut-larut.
Mengingat kalimat yang diungkapkan Bung Karno, 1952 di
Bogor, ”…pertanian dan pangan adalah hidup matinya bangsa ini…” Ungkapan yang
memperkuat bahwa pembangunan pertanian begitu penting untuk dicanangkan. Bagi
Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, PERHEPI, masa depan bangsa tidak
sekedar mampu keluar dari himpitan krisis ekonomi saat ini, akan tetapi harus
ada upaya-upaya mendasar bangsa ini untuk “merekonstruksi” kembali
kebijakan-kebijakan nasionalnya, agar petani dan pertanian dapat menyongsong
hari depannya secara lebih baik dan lebih sejahtera.
Peran
Sistem Agribisnis Inklusif
Sistem agribisnis inklusif merupakan
sebuah sistem yang secara adil merangkul semua pelaku dalam proses agribisnis
untuk terlibat dalam pembangunan pertanian; sebuah system yang dibentuk untuk
mengupayakan hak-hak petani yang pada umumnya masih dalam kondisi tetinggal.
Tak bisa dipungkiri, Indonesia memang
kaya dengan SDA-nya, tetapi penulis melihat dari tahun ke tahun, alih fungsi
lahan pertanian semakin gencar dilakukan. Hal yang akhirnya membuat petani kita
usahanya berada dalam skala kecil, kualitas hasil produksi menurun akibat
permodalan terbatas, dan alasan-alasan lain yang akhirnya menyebabkan pertanian
Indonesia masih kalah saing.
Agribisnis inklusif merupakan sistem
dalam sektor pertanian yang diharapkan dapat menjadi pintu masuk pembangunan
Indonesia. Kondisi petani kita yang memang tersebut di atas, dapat menjadi
dorongan untuk semakin meningkatkan pertanian Indonesia. Penulis melihat
masalah menjadi sebuah tantangan yang berbuah peluang.
Menjalankan
system baru memang membutuhkan waktu yang cukup lama jika melihat kondisi
kenyataan sasaran, petani. Sejalan dengan berlakunya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25
Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Daerah, adanya daerah otonomi
dapat mengkonsistenkan system ini. Setiap warga daerah mengurus potensi-potensi
yang ada di daerahnya, di mulai dari daerah pedesaan.
Langkah
awal yang dapat dilakukan adalah dengan memperbaiki SDM petani. Sebagaimana
telah disinggung sebelumnya, kualitas SDM seolah menjadi stockholder dalam tiap aspek, termasuk kesuksesan system agribisnis
inklusif tersebut. SDM di pedesaan relatif besar berpotensi tinggi untuk
membangun pedesaan dalam pengembangan agribisnis. SDM ini, terutama golongan
muda cukup responsif terhadap sentuhan inovasi untuk meningkatkan
profesionalisme mereka dalam mendukung pengembangan agribisnis yang berdaya
saing tinggi.
Budaya
masyarakat pedesaan menghargai tata nilai yang mencirikan kemajuan, seperti
kerja keras, rajin, hidup hemat dan daya empati tinggi. Hal ini merupakan salah
satu potensi besar untuk dijadikan penggerak kemajuan agribisnis setempat.
Sikap
egaliter atau solidaritas masyarakat pedesaan, terutama masyarakat kampung
relatif sangat tinggi. Hal ini merupakan potensi besar untuk membangun agribisnis
dengan basis kolektivitas masyarakat setempat. Sikap hormatnya masyarakat pada
petugas desa pun begitu baik, hal ini dapat mempercepat gerak pembangunan
agribisnis, sebuah kesempatan yang harus diambil. Dalam hal seperti ini,
petugas desa yang bergerak di program agribisnis inklusif harus memanfaatkan
secara optimal demi suksesnya pembangunan pertanian di desanya.
Kepercayaan
petani atau masayarakat di desa kepada orang yang mempunyai pendidikan tinggi
sangat baik, masyarakat cenderung sangat terbuka, mudah menerima doktrin
seseorang yang mereka anggap lebih. Di sini, peran mahasiswa pertanian begitu
dibutuhkan.
BAB III
PENUTUP
III.1. Kesimpulan
-
SDA Indonesia yang melimpah sangat
berpotensi dalam menyumbang kas negara. Hasil produksinya dapat bersaing di
pasar internasional yang akhirnya impor yang kini gencar dilakukan akan semakin
menurun. Selain itu, sector pertanian, sector yang bergerak dalam pemanfaatan
SDA dapat menyerap tenaga kerja yang cukup banyak sehingga produktivitas
pertanian pun akan meningkat akibat pengolahan lahan oleh tenaga kerja yang
memadai.
-
Pembangunan
pedesaan dalam rangka pemberdayaan masyarakat terutama petani dan nelayan melalui penyediaan prasarana, pembangunan system agribisnis,
industri kecil dan kerajinan rakyat, pengembangan kelembagaan, penguasaan
IPTEK, dan pemanfaatan keunggulan sumberdaya alam daerah perlu dipercepat
(GBHN, 1999).
-
SDM sebagai stockholder dalam pembangunan Indonesia.
-
System agribisnis inklusif dapat
diterapkan di Indonesia dengan cara awal yaitu pemberdayaan masyarakat, selain
itu, pengembangan pertanian patut mengedepankan potensi daerah dan kemampuan
masyarakatnya. Dengan adanya daerah otonom, keberjalanan agribisnis inklusif
dapat lebih diperhatikan.
III.2. Saran
-
Kegiatan otonomi daerah mencaakup
agribisnis inklusif juga, sehingga keberjalanan system ini akan lebih
terkontrol.
-
Mahasiswa pertanian hendaknya menyadari
mahasiswa pertanian mempunyai andil besar dalam pembangunan Indonesia. Setelah
lulus, berkecimpunglah di dunia pertanian.
DAFTAR PUSTAKA
Budi, Nugroho.2010. Konsep Pembangunan Inklusif; Apakah Perlu?. Diakses pada tanggal 12 Juni 2012 di: http://karinakas.org/id/index.php?option=com_content&task=view&id=29
Firmansyah, Teguh. 2010. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia Jauh di Bawah Malaysia.Diakses pada tanggal 12 Juni 2012 di: http://www.republika.co.id/
Ruslan, Kadir. 2011. Indonesia, Negara Agraris Pengimpor Pangan. Diakses pada tanggal 12 Juni 2012 di http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2011/08/15/
Rusastra,
I Wayan.2011.Reorientasi Paradigma dan
Strategi Pengentasan Kemiskinan Dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi
Global.Diakses pada tanggal 12 Juni 2012 di: http://www.pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/ip042111.pdf.
Simatupang,
Pantjar dan Nijwar Syafa’at. 2002. Pengembangan Potensi Sumberdaya Petani
Melalui Penerapan Teknologi Partisipatif. Diakses pada tanggal 16 Juni 2012.
Swasono, Sri Edi. 2011. Pembangunan di Indonesia Belum Humanis. Diakses pada tanggal 12
Juni 2012 di: http://www.pikiran-rakyat.com/node/158352
------ 2012. Perkembangan Ekspor dan Impor Indonesia April 2012. Diakses pada tanggal 12 Juni 2012 di: http://www.bps.go.id/brs_file/eksim_01jun12.pdf
Arika, Yovita dan Roberth Adhi. 2012. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia Sangat Rendah. Diakses pada tanggal 12 Juni
2012 di: http://nasional.kompas.com/read/2012/04/17/12214022/
No comments:
Post a Comment